Sapu Lidi Hasil Karya Sendiri dan Maraknya Fenomena Mengcopy Paste Karya Orang Lain

March 20, 2019



Hari ini hujan masih setia menemani. Sambil selimutan,  saya teringat masa lalu. Masa dimana saya masih SD, antara kelas 1 sampai kelas 6. Ya iya lah, SD mah ga sampe kelas 12 kan?

Setelah ulangan semester, waktu itu namanya THB alias tes hasil belajar, yang dilaksanakan setiap 4 bulan sekali atau catur wulan. Nah, hari terakhir THB itu selalu diisi dengan pelajaran keterampilan. Dan sampai sekarang, ada beberapa keterampilan yang saya ingat.

Misalnya saat membuat bak sampah dari bambu, asbak dari tanah liat, topi dari bungkus rokok, hiasan dinding dari kain perca, penghapus papan tulis juga.

THB waktu itu saya membuat sapu lidi.

Seperti biasa hari terakhir THB anak-anak disuruh membuat keterampilan. Saya bersama adik-adik, beberapa teman dan tetangga yang juga anak SD, membuat sapu lidi di belakang rumah bibi Ning.

Seru lah pokoknya. Meraut lidi sendiri, dikumpulkan sambil main rebut-rebutan juga, setelah terkumpul lumayan banyak, terus belajar mengikat.

Besoknya, dengan bangga saya membawa hasil karya sendiri ke sekolah. Saya buat sendiri. Nilainya pasti besar. Anak kreatif pasti dapat nilai bagus kan. Namanya pelajaran keterampilan.

Tapi pas saya intip nilai yang ditulis guru, ternyata nilai saya termasuk yang paling kecil. Diantara yang terbesar, menengah, dan kecil banget itu, ternyata nilai saya termasuk yang kecil banget.

Sedih? Tentu saja.

Begitulah. Beberapa kawan yang bawa sapu ijuk dapat nilai 80, kawan lain yang bawa sulak dari bulu ayam juga 80, sapu lidi yang beli di tukang kupat, yang memang jauh lebih besar dan lebih bagus, nilainya 75.

Diriku? Dapat 70 atau 65. Pokoknya angka terendah.

Padahal buat kerajinan sendiri.
Padahal hasil cipta karya sendiri.
Padahal udah pede banget bakal dapat nilai gede.

Meskipun begitu, pada THB berikutnya juga tetep bikin sendiri. Alakadarnya. Dan nilai juga alakadarnya. Tak apalah. Keadaan tidak mengijinkan buat beli sapu ijuk di warung.

Waktu itu, tak ada uang lebih untuk beli yang macam-macam. Bisa makan saja sudah alhamdulillah.

Hal serupa terjadi pada topi bungkus rokok. Karena membuat sendiri, bentuknya juga penyok. Dapat nilainya juga...
Aah syudahlah.



Yang ingin saya garis bawahi di sini adalah, mari kita belajar menghargai proses.
Yaa memang hasil tetap penting. Tapi proses juga tetap harus dihargai.

Para penemu itu, ilmuwan-ilmuwan hebat itu tidak mencoba sekali lalu langsung berhasil. Tapi berkali-kali.

Puluhan bahkan ratusan kali.

Kira-kira mereka akan berhasil tidak jika mereka tidak mempunyai keinginan yang kuat?

Baru sekali mencoba sudah langsung putus asa.

Belum apa-apa orang sudah kasih cap gagal.

Moal bisa ieh.
Ngges ngadadaekan.

Akan jauh lebih baik jika semesta mendukung setiap usaha siapa saja. Menghargai. Memuji. Setidaknya jangan menghina.

Misalnya nih ya, seseorang sudah menghasilkan karya. Sebuah karya. Apa saja.

Lalu kita mengcopy paste, mengakuinya sebagai karya kita.

Itu TIDAK BOLEH.

Seseorang menghasilkan karya dengan usaha yang mungkin luar biasa. Dia sudah memikirkannya dengan matang. Dan kita dengan mudahnya, dengan entengnya mengambil begitu saja dan mengakui sebagai milik kita.

Tidak bisa begitu. Mana penghargaan kita atas usaha mereka.

Dan saya juga pernah jaga warnet.
Anak-anak datang dengan tugas membuat makalah. Waktu ditanya ketikeun na mana, apa jawab mereka. Cari aja di internet cena. Loba.

Itu copy paste saudara.
Ngga boleh kalau tidak dicantumkan sumbernya dan diakui milik sendiri.

Hak cipta dilindungi undang-undang.

Sebagai orang tua dan guru, mari kita menghargai proses belajar anak-anak.

Anak SD yang membuat makalah dengan bahasa yang bagus layaknya anak kuliah itu, patut dicurigai mengcopy milik orang lain.

Berikan tugas yang masuk akal. Jangan buat tugas makalah 20 halaman, harus selesai dalam 2 hari. Itu anak suruh nunduk terus selama 2 hari juga, belum tentu jadi makalahnya.

Dan pasti kemudian copas dari internet.

Ayolah Bu, zaman udah maju ini. Jangan gitu napa.

Maju sih maju, tapi peradabannya jangan mundur juga. Kalau dijadikan bahan acuan, lalu ditulis ulang dengan bahasa sendiri mah, Boleh.

Tapi copy paste, PLEK persis sama. Ini ngga boleh.



Saya hanya berusaha menuangkan kegelisahan di hati saat ini. Melihat fenomena maraknya orang meng copas karya orang lain. Mencoba menghubungkan dengan gaya pendidikan yang saya alami sendiri.

Ini memang tidak ilmiah. Mungkin terlalu memaksakan juga sih, menghubungkan masalah tugas sekolah, cara penilaian, dengan perilaku copy paste yang terjadi di masyarakat kita.

Saya sedih, sebab diantara anak-anak yang mengakui karya orang lain sebagai karya sendiri itu ada beberapa murid saya.

Padahal saya sudah jelaskan berkali-kali, saya beri contoh juga. Mereka mengangguk seakan mengerti, tapi di facebook, tetap saja mengakui karya orang lain sebagai milik sendiri.

Saya berhenti dulu sekarang.

Seperti lirik lagu

Kuat dilakoni, ora kuat ditinggal ngopi

Jadi, saat sudah tidak kuat lagi menanggung beban, kita berhenti dulu, istirahat dulu, ngopi, nanti saat sudah segar lagi, tenaga sudah terkumpul lagi, ambil lagi beban yang tadi diletakan, dan lanjutkan perjuangan.



You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images